Nenek yang Cerewet, yang Tinggal dalam Kenangan

/
0 Comments
Tanggal yang sama, 6 tahun lalu, 3 Desember 2008, tepat satu hari setelah ulang tahunku yang ke 16.

Siang itu sedang pekan ujian akhir semester, aku dan sahabatku sedang duduk di kelas XB binsus manado yang ada di lantai dua, mengaransemen lagu ciptaan kami untuk ujian praktek seni musik. Saat akan pulang, tepat di ujung tangga, ada telepon masuk di hp ku. Sebuah kabar mengejutkan dari mama: Enyak meninggal. Enyak, adalah panggilanku untuk nenek dari ayah.

Aku terdiam setelah mengatakan astagfirullahalazhiim, bukan innalillahi wainnailaihi rajiun. Begitulah, kaget mendengarnya, meskipun kami sekeluarga memang sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk. Ku pegangi gitarku dengan erat, lalu berjalan pulang. Di rumah, adikku tampaknya lebih shock. Ia menangis sambil bilang 'Kenapa enyak meninggalnya sekarang, kenapa ga nunggu aku, kan bentar lagi aku mau pulang'.

Ya, pertengahan Desember itu sebenarnya kami akan pulang ke Depok. Tiket dan semuanya sudah siap. Namun apa daya, Allah memanggil enyak 2 minggu sebelum kami pulang.

Kami memang jarang bertemu dengan enyak setelah kami mulai berkelana keliling Indonesia. Sejak saat itu, kami hanya berkomunikasi lewat telepon seminggu sekali. Teringat tiap kali aku berbicara dengannya melalui telepon, enyak selalu bertanya 'kakak kapan pulang?'. Saat berbincang dengan ayah pun, ia seringkali menangis. Rindu pada anak cucunya. Terakhir berkomunikasi dengan enyak via telepon, kami mengabari bahwa kami akan pulang pertengahan desember itu.

Terakhir kali bertemu dengan enyak tahun 2006, saat ia datang berkunjung dengan salah satu om kembar, kala kami masih di Kotamobagu, sebuah kota kecil yang letaknya 4 jam dari Manado. Keadaan ekonomi enyak memang tidak sebaik bapak dan emak (orang tua mama) yang setiap liburan tengah atau akhir tahun bisa datang berkunjung ke Manado. Dan saat itu pun kami masih belum punya apa-apa untuk mengajak enyak sering datang ke Manado. Maklum, hakim adalah pejabat negara yang paling miskin di indonesia.

Enyak ku di kala mudanya adalah seorang gadis pujaan di desanya. Cantik, tinggi semampai dengan proporsi badan ideal. Rambutnya ikal, hitam panjang. Plus anak orang cukup terpandang, dia anak mandor perkebunan karet milik Belgia yang saat tu terhampar sangat besar di Sawangan. Sayang, semakin tua tubuhnya semakin kurus, hingga bak tulang berbalut kulit.

Enyak ku seorang nenek yang pemberani. Hobinya ikut orang bedah empang. Bedah empang adalah saat dimana kolam ikan tradisional (empang) dibuka aliran airnya, untuk mengambil ikan siap panen, biasanya dilakukan bersama warga yang ingin membantu atau sekedar ingin mengambil ikan sepat dan udang. Enyak seringkali ikut bedah empang, masuk ke lumpur empang untuk mencari ikan sepat dan udang dengan bermodalkan seser (jaring kecil). Setelahnya, ia akan berjalan ke rumahku yang letaknya harus menanjak jauh dari rumahnya, untuk mengantarkan udang dan ikan sepat itu ke rumahku, untuk dua cucunya tersayang ini. Saat kami pindah ke rumah panggung kayu di tengah empang, enyak berani melewati pematang empang yang minim lampu, banyak ular, sempt dan licin di malam yang gelap untuk menemaniku dan adikku.

Enyak ku terkenal sebagai nenek yang cerewet, perfeksionis, galak, tapi dia bisa melakukan segala hal sebagai perempuan. Memasak, menjahit, bahkan pekerjaan agak berat pun dilakoni. Mungkin karena dia bisa melakukan semuanya dengan baik dia jadi tidak sabar melihat perempuan lain melakukan sesuatu dengan lambat atau tak sempurna. Tapi meskipun galak, dia tak pernah memarahiku. Dia adalah sosok nenek yang penyayang dan loyal pada aku dan adikku. Meskipun bertahan hidup hanya dengan dana pensiun kakek, tapi setiap kali aku datang ke rumahnya pasti dia memberikan uang jajan padaku.

Enyak selalu menggunakan kebaya encim bermotif bunga-bunga dengan bahan tipis dan kain batik kemanapun dia pergi. Itulah sebabnya kenapa aku teringat enyak selalu ketika melihat nenek-nenek yang berpakaian seperti itu di angkot.

Enyak ku punya keinginan sebelum meninggal. Ia ingin meninggal tanpa merepotkan anak-anaknya. Dan itu terwujud. Anak-anaknya hanya mengeluarkan uang tak lebih dari 8 juta, kecil untuk ukuran penyakit yang berhubungan dengan jantung. Meninggalnya pun di rumah, setelah dinyatakan boleh pulang oleh dokter. Untungnya ayah sudah lebih dulu pulang ke Depok agar bisa merawat enyak di saat terakhirnya. Ya, Enyak, anak kesayanganmu pulang dari rantau.

Beberapa hari sebelum enyak meninggal, setelah enyak dirawat di rumah sakit, kami sekeluarga duduk berbincang di ruang tamu dengan pintu depan terbuka. Seketika semerbak baru melati dan pandan. Merinding buluku. Mulai saat itu, aku pasrah. Esoknya ayah memutuskan untuk pulang duluan ke Depok, syukurlah masih sempat.

Saat mendengar berita itu, aku tak menitikkan air mata. Sampai pada ketika malam datang dan aku mulai mengingat masa bersamanya. Mungkin lain ceritanya jika aku ikut pulang duluan bersama ayah.

Saat kami kembali dari rantau, ayah bertugas di sekitar Depok dan aku kuliah, enyak sudah tiada. Hanya beberapa barang yang tertinggal. 2 buah bantal kapuk, khas enyak.

Hari ini, 3 Desember 2014, tepat 6 tahun enyak meninggalkan kami. Aku membuka laci mencari fotonya. Foto terakhirnya adalah saat ia berfoto di depan Masjid Kubah Emas, sudah jauh lebih kurus dari yang kuingat. Aku sadar, kami tidak punya banyak foto kenangan bersama enyak. Hanya segelintir.


Foto itu tahun 2001 diambil di rumah datuk usu ku di Sungai Pinyuh Kalimantan Barat, saat kami sekeluarga dan enyak pergi ke rumah sanak saudara kami di sana. Aku masih kelas 4 SD, adikku yang menyebalkan dan hiper aktif itu masih 4 tahun. Saat itu dia masih belum sekurus tahun-tahun terakhirnya.

Foto hanya sekedar gambar, tapi kenangan tentang enyak yang sebenarnya, gelak tawanya, gaya bicaranya, kasih sayangnya, tergambar lebih jelas di kenangan kami. Nisan hanya sekedar penanda sisa tubuhnya berada, tapi gen dari tubuhnya yang dia turunkan terus ada bersama kami. Kuburan hanya sebagai tempat jasadnya, dia yang sebenarnya tak lagi ada di dunia. Doa lah yang dapat menghubungkan kami dengannya. Hanya doa anak yang dapat terus menerus menjadi tambahan pahalanya di sana.

Ya Allah, berikanlah tempat yang layak untuk nenekku, Hj. Marini disisimu. Lapangkanlah kuburnya, Jauhkan dia dari siksa neraka, sayangilah ia sebagaimana ia menyayangiku saat aku kecil ya Allah. Hanya engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin.


You may also like

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.