Abdi Negara Kaya Raya

/
0 Comments
Setiap kali bertemu dengan orang baru, yang baru tahu pekerjaan ayah kami, selalu saja ada raut kekaguman sekaligus nyinyir dari mereka. Suatu hari, ibu saya sedang bicara dengan seorang sales mobil yang membuka pameran di lahan milik kakek saya. Kebetulan, ibu saya membuka usaha warung makan dan catering, untuk mengisi waktu dan membiayai kehidupan kami sehari-hari di depok.

Sales 1 : Ibu ga tinggal disini? (di rumah nenek maksudnya)
Mama : Nggak, disini cuma orang tua aja.
Sales 1 : Ibu tinggal dimana? 
Mama : Telaga Golf .
Sales 1: Wah, orang kaya dong bu.
Mama : Ah, ga semua orang yang tinggal di Telaga Golf kaya kok mas.
Sales 2 : Gimana sih lo, liat aja tuh mobilnya, Honda City. Pasti orang kaya lah.
Sales 1 : Iya juga ya. eh bu, emang bapak kerja apa bu?
Mama : Suami saya hakim di kalimantan.
Sales 1 : Oooooh, pantesaaaan. Hakim. Banyak uang lain-lainnya ya bu.

Ya, seringkali begitu. Padahal, bagi kami, kehidupan kami begitu penuh dengan permasalahan uang. Terlambat bayar uang kuliah, terlambat bayar listrik, terlambat bayar rumah, dan keterlambatan lainnya. 
Ayah saya adalah orang yang sangat tegas dan penuh pendirian. Ia tak terima sogokan atau ucapan terima kasih. Kalau ia terima, ibu saya tak perlu jualan nasi. Ayah saya hanyalah satu dari 7500 hakim di Indonesia. Dari jumlah itu, ada banyak yang berprinsip sama seperti ayah saya, sebagiannya lagi berprinsip sama seperti yang orang-orang pikirkan.

Hakim selalu disorot. Hakim adalah pekerjaan mulia yang dicap negatif. Tak banyak orang yang tau di luar sana banyak hakim yang hidupnya susah. Ketika saya masih SMP, saya pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti tugas ayah. Ada hakim yang sudah 11 tahun menjadi hakim bahkan rumah pun tak ada. Rumahnya merupakan pemberian mertua. Dengan perabotan yang minim, kebanyakan dari plastik. Padahal image hakim, adalah pekerjaan yang mudah mendapatkan uang tambahan. Tidak. Tidak bagi para hakim yang bersih.

Hakim adalah pejabat negara termiskin di Indonesia. Dengan gaji yang mirip bahkan setara dengan guru, meskipun tunjangannya kini cukup besar. Tunjangan plus gajinya per bulan berkisar 15-17 juta untuk hakim biasa, 20-25 juta untuk kelas wakil dan ketua pengadilan. Namun saat pensiun, yang diterima sama besar dengan guru, 3,5-4 juta. Tapi menjadi hakim itu pengeluarannya juga banyak. hakim tak boleh punya rumah dulu. Kenapa? karena kami pindah-pindah. Hakim Pengadilan agama mutasi setiap maksimal 2 tahun sekali. Mutasinya tak tanggung-tanggung. Bisa dari tempat satu ke tempat lain yang bahkan berbeda pembagian waktu. Di tempat baru, tak disediakan rumah dinas, kecuali untuk ketua, atau di tempat-tempat super terpencil atau super terluar Indonesia, contohnya, di Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Bahkan di awal tahun 2000an, hakim di salah satu wilayah di NTT yang kering, harus membawa-bawa derigen ke kantor untuk mengambil air. Hakim yang mengontrak rumah, meskipun rumah yang dikontrak tak ada isinya, lebih baik tak diisi banyak perabotan. Isi saja seadanya. Kenapa? karena nanti akan ditinggal juga. Beli meubel 2 juta, set tempat tidur dan lemari 5 juta, piring gelas 500ribu, TV 2 juta, kulkas 3 juta, tapi nanti saat harus berangkat lagi, semua diobral. Kasur lengkap dengan lemari 700ribu, meubel 500ribu, dan bantingan harga lainnya. Uang penggantian pindah dari Mahkamah Agung tak mencukupi untuk membeli perabotan lengkap, pastilah keluar uang sendiri. Jadi rugi lah kita kalau beli banyak barang.

Banyak hakim yang memilih untuk meninggalkan anak istrinya di kampung halaman sementara ia merantau keliling Indonesia. Ini menimbulkan masalah baru. Beberapa bulan lalu saya lihat headline di salah satu media massa, yaitu tentang kasus perselingkuhan sesama hakim. Inilah akibat dari meninggalkan anak istri di kampung halaman sementara ia sendirian di tempat baru. Tapi kalau harus membawa anak istri, biaya akan membengkak 3 kali lipat. Belum lagi rumah di kampung akan terbengkalai. Tetap saja, ini tak boleh dibiarkan.

Hakim, tak akan punya apa-apa kalau tidak berhutang. Ayah saya sedang mencicil rumah, dan mobil yang orang bilang mewah, serta membeli tanah untuk modal tabungan hari tua, semua dari berhutang. Kalau ada hakim yang mengaku punya ini itu tapi beli cash, anda boleh mencurigainya.

Hakim ada yang memata-matai. KPK berhak menyadap, menyelidiki seorang hakim, karena hakim adalah pejabat negara. Setiap akhir menjelang awal tahun, ayah selalu sibuk menulis daftar kekayaan. Saat awal jadi hakim, list hutang lebih banyak dari list kekayaan. Alhamdulillah sekarang setelah tunjangan hakim turun, daftar kekayaan kami bertambah beberapa halaman, tentu saja diikuti juga dengan penambahan halaman daftar hutang.

Ini yang membedakan hakim dengan PNS biasa. Hakim adalah pejabat negara, yang kapanpun bisa dimata-matai KPK. Tapi tidak dengan PNS.

Sebanyak apapun PNS korupsi, rekeningnya tak akan ditelusuri KPK. Enaknya jadi PNS. Duit haram banyak, tak ada yang larang.
Ayah saya selalu bilang, PNS itu gajinya bisa dihitung. Kalau ada suami istri yang keduanya PNS, gaji suami 8 juta, gaji istri 8 juta, berarti totalnya 16 juta. Jika rumahnya seharga 750 juta, dengan cicilan 6 juta per bulan selama 10 tahun, ditambah 1 mobil 7 seater yang saudaranya dimana-mana dengan harga cicilan 3,5 juta setiap bulan 5 tahun, ditambah motor untuk 2 anaknya, masing-masing cicilannya 750ribu, gajinya masih ada sisa sekitar 5 juta untuk foya-foya, itu masih terbilang wajar.
Tapi kalau hanya pns biasa yang gajinya 5-6 juta, dan hanya suami yang bekerja, plus bukan dari keturunan keluarga kaya raya tiba-tiba punya rumah bagus, mobil 1 motor 2, gelang, cincin, apartemen, tanah berhektar-hektar, wajar kah?

Korupsi di negeri ini sudah mendarah daging.
Tak ada tender tanpa permainan di belakangnya. Tender itu bukan hanya mainan atasan, bawahan juga pasti bermain. Atasannya kena tersangkut korupsi, bawahannya lolos. Bawahannya lalu akan melanjutkan sistem kotor bin ajaib yang sudah ada dan mendarah daging itu.

Korupsi di negeri ini sudah mendarah daging.
Bahkan penegak hukum saja tersangkut kasus. Polisi, semakin tinggi pangkatnya, semakin gemuk dan buncit perutnya, semakin gendut pula rekeningnya. Sudah hal yang lumrah, kalau jenderal polisi punya villa dimana-mana, mobilnya sekian, tanahnya ratusan hektar. Alasannya, dari uang usaha, bukan korupsi. Saat ini banyak jenderal yang diberi pangkat komisaris perusahaan besar oleh si empunya. Wajar saja kalau pendapatannya membengkak. Tapi apakah wajar? Kenapa memberi jabatan penting seperti itu ke orang yang tidak mengerti bisnis? Ya apalagi kalau bukan 'memberikan jaminan keamanan bisnis'. Tidak salah, tapi tidak tepat. Bukankah yang seperti itu namanya penyalahgunaan wewenang? alias punya unsur kolusi dan nepotisme. itu yang jenderal. Yang bawahan, mungkin kalian sering mendengar "kalo lo ada masalah, lo hubungin om gue aja, dia polisi di polres X, ntar dibantuin sama dia". Tak sadarkah kita itu juga bentuk KKN?

Korupsi di negeri ini sudah mendarah daging.
Tak hanya diam-diam, korupsi, kolusi, nepotisme di berbagai sektor dilakukan berjamaah. Menghabiskan anggaran di akhir periode, dengan jalan-jalan berjamaah ke luar negeri, acara penyuluhan alakadarnya dengan anggaran luar biasa, dan trik lainnya, bukankah menjadi sesuatu yang lumrah? Tapi, apakah yang lumrah itu diperbolehkan?

Mungkin itu sebabnya banyak orang yang rela nyogok ratusan juta untuk jadi pegawai negeri. Kalau bukan itu, apa lagi? Kalau nyogok 100 juta, setiap bulan menyisihkan 1 juta, 100 bulan baru bisa balik modal. Ya kan?

Tak hanya satu orang, PNS yang lebih kaya dari saya sekeluarga. Padahal orang tua saya banting tulang keduanya, dengan pendapatan pokok per bulan yang jauh lebih besar. Memang, kita tak boleh berburuk sangka. Tapi kalau memang ada yang begitu di sekitar kita, bukankah tugas kita untuk memperingatkan? Kasihan dia di alam berikutnya nanti.

Sama halnya seperti hakim, saya juga yakin masih banyak PNS yang jujur. Hanya saja, bagaimana caranya agar yang jujur ini menduduki jabatan agar jujurnya terbawa ke bawahanya,

Adik saya bilang "kak, pokoknya, diantara kita, ga boleh ada yang jadi orang di pemerintahan. Pemerintahan itu kotor, ga jelas halal apa ngga uangnya".

Kita butuh orang baru, yang belum tercemar pikirannya, untuk membawa negeri ini menuju perubahan. Siapa? entahlah. Saya bahkan tak yakin mahasiswa-mahasiswa yang sekarang berkoar masih akan bersih putih jika mereka menduduki jabatan nanti.
Saya tak mau suuzon.
Saya ingin optimis. 
Tapi keadaan membuat saya semakin pesimis.


You may also like

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.