Fingertalk Cafe & Workshop, Cafe dengan Pelayan Penyandang Tuna Rungu: Sebuah Tamparan Halus untuk Masyarakat

/
2 Comments
Setelah lama tak punya waktu untuk menulis pengalaman, akhirnya hari ini kesampaian juga. Terakhir menulis adalah beberapa minggu setelah tunangan, sekarang nulis lagi beberapa minggu setelah menikah. :)

Jumat itu saya, yang kebetulan sedang libur kuliah, iseng ikut suami tugas meliput sebuah cafe di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan. Fingertalk Cafe & Workshop, katanya. Suami saya adalah seorang wartawan di salah satu media online. Tugas tematiknya minggu itu adalah tentang kedai unik. Berhubung liputannya belum ditayangkan, jadi saya tidak bisa menayangkan foto yang kami ambil tadi.

Hari masih pagi saat kami berangkat menuju kesana, jam 9 pagi. Kami mengandalkan arahan mbak google maps karena kebetulan saya belum paham betul seluk beluk Pamulang. Mbak Google Maps mengarahkan kami melewati jalan kecil dan berliku, sampai-sampai saya sangsi apakah si mbak maps menunjukkan jalan yang tepat. Namun ternyata si jalan kecil tadi bermuara di jalan yang lebih besar, cukup besar, bisa dilewati 2 mobil pas-pasan. Saya lebih dulu melihat papan nama Fingertalk Cafe yang berada di sisi kiri jalan dibandingkan suami saya.

Ketika masuk, suasana masih sepi. Wajar, saat itu baru jam 10 pagi. Cafe baru buka. Fingertalk terlihat seperti rumah tradisional bernuansa modern. Lapangan parkir, pepohonan seperti di rumah, dan lapangan rumput di tengah bangunan yang membentuk letter U. Rumahnya model jawa tradisional, dengan banyak bagian terbuka dan di desain cukup homey. Mejanya tidak banyak. Dan.....sepi. Sepi, tak banyak suara.

Saat baru tiba, kami cukup lama berada di parkiran, karena menunggu teman liputan suami saya. Sampai akhirnya seorang laki-laki menyambut kami dari arah dalam cafe. Ketika masuk, suami saya menanyakan apakah manager cafe itu ada kepada pelayan, namun, tidak ada yang merespon. baru setelah suami saya memperjelas dengan tulisan, mereka mengarahkan kami ke seorang ibu paruh baya yang sedang berbincang di meja tengah. Dengan gerakan, pelayan perempuan mempersilahkan saya untuk duduk.

Suasananya sepi, tidak berisik seperti cafe pada umumnya.
Mengapa sepi? mungkin karena tak banyak yang bicara.
Alasan kami datang kesini adalah karena konsepnya. Fingertalk Cafe adalah cafe yang seluruh pelayannya adalah penyandang tuna rungu. Saya ingin ikut datang kesini karena saya penasaran dengan konsep dan bagaimana caranya pelayan dan pelanggan berinteraksi.

Di setiap meja, terdapat satu kertas di-laminating yang terlihat seperti kolase foto. Berisikan gambar foto beberapa bahasa isyarat. Di kertas itu kita bisa belajar bagaimana mengucapkan maaf, meminta tolong, minta minuman, minta teh, kopi, meminta tagihan, mengucapkan terima kasih, dan berbagai kata sederhana dalam bahasa isyarat yang mungkin kita gunakan untuk berkomunikasi dengan pelayan cafe. Cara memilih menunya sama saja, kita menuliskan menu pilihan di kertas yang disediakan. Pilihan menunya ya cafe lah. harganya pun standar cafe, bukan kaki lima.

Suami saya mengobrol dengan ibu paruh baya itu, karena kebetulan pemilik cafe & workshop ini sedang tidak berada di tempat. Dari ibu itu, suami saya memperoleh booklet Fingertalk cafe & workshop.

Fingertalk cafe & workshop tersebut didirikan oleh seorang wanita muda pemerhati penyandang tuna rungu. Beliau tertarik dengan bahasa isyarat karena waktu kecil orangtuanya membawanya ke tempat bakti sosial dan seorang penyandang tuna rungu mengajarkannya mengeja namanya dengan bahasa isyarat. Untuk apa mendirikan cafe dan workshop? Tidak lain tidak bukan adalah membantu menyejahterakan para penyandang tuna rungu dengan memberi mereka pekerjaan, memberi ruang untuk mereka berkarya. Di tempat itu, para penyandang tuna rungu dapat bekerja menjadi pelayan cafe, koki, ataupun menjahit dan membuat handycraft. Ya, selain menjual makanan, mereka juga menjual pernak pernik hasil karya para penyandang tuna rungu.

Saat membaca booklet itu, saya terhenyak.
Ya, memang benar. Nyaris tidak ada pekerjaan tersedia untuk mereka yang tuna rungu di kota besar seperti ini. Mau jadi apa? pekerja kantoran? Lulusan strata satu yang normal saja belum tentu bisa masuk perkantoran besar. Petugas Transjakarta? Saya rasa akan sulit. Yang masih mungkin adalah cleaning service. Namun dari segelintir kemungkinan itu, tidak ada yang bergengsi. Hanya penyandang tuna rungu yang beruntung saja, yang memiliki dukungan finansial, support, serta bakat yang mampu muncul ke permukaan. Sisanya?

Sambil menunggu pesanan saya datang, saya berpikir jauh. Apabila saya di posisi mereka, apa yang akan saya lakukan? Apakah saya dapat berguna bagi orang lain jika saya seorang tuna rungu?
Bukan saya iba pada mereka, para pelayan cafe itu, melainkan salut. Salut kepada mereka yang berani untuk tampil ke depan, melayani orang 'normal'. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk berkomunikasi jika anda seorang tuna rungu. Karena tidak semua orang normal cukup 'normal' untuk tidak nyinyir ataupun menghina. Namun mereka berani, tanpa malu-malu lagi, tidak minder, menunjukkan bahwa mereka bisa mengerti dan melayani pelanggan, yang normal, yang berbeda dengan mereka.

Ketika saya melihat ke kertas bahasa isyarat di atas meja, saya berpikir, alangkah tertutupnya dunia saya, alangkah tertutupnya dunia mereka, sehingga tidak ada satu kata pun dalam bahasa isyarat yang saya bisa tirukan.

Ya, dunia mereka terlalu jauh dari dunia 'orang normal', sampai sangat sedikit orang yang memahami bahasa isyarat. Bahkan hanya TVRI saja yang menayangkan berita dengan bahasa isyarat di bawahnya. Alangkah sempitnya dunia mereka dibandingkan dunia 'orang normal'. Mengapa tidak ada informasi mengenai bahasa isyarat untuk anak sekolah? Mengapa tidak ada pengajaran mengenai bahasa isyarat di pendidikan umum? Setidaknya, jika ada pendidikan bahasa isyarat untuk umum, biarpun sebentar, kita dapat 'berbicara' dengan mereka, memahami maksud mereka, tanpa perlu kertas. Jika saja demikian, tidak ada jurang pemisah sebegitu jelasnya yang memisahkan dunia 'orang normal' dengan dunia penyandang tuna rungu. Jika saja demikian, mereka tidak akan 'terkucilkan' oleh masyarakat awam.

Lewat tempat ini, saya menyadari bahwa saya benar-benar belum ada apa-apanya. Saya paham bahasa inggris, dapat berbicara dengan orang asing namun saya tidak bisa bicara dengan penyandang tuna rungu yang adalah orang indonesia juga. Saya bahkan tidak pernah bertemu penyandang tuna rungu sebelumnya, dan tidak pernah berkunjung ke panti atau bakti sosial sekalipun! Saya belum pernah berusaha masuk ke dunia mereka! Padahal mereka ada di sekitar kita.

Gadis yang melayani saya sangat ramah. Mungkin sudah lumrah bagi mereka jika orang lain tidak begitu mengerti maksud mereka, namun ia tetap tersenyum manis. Saya mencoba untuk menggerakkan tangan saya mengikuti gerakan yang ada di kertas itu saat saya meminta tagihan. "Berapa?" kata saya sambil menggerakkan tangan. Mungkin gerakan saya kurang jelas, salah, atau mungkin dia tidak fokus, saya pun mengulangi gerakan saya sambil berkata, berapa. Gadis itu mengerti dan sambil tersenyum ia berlari ke belakang meja lalu menghampiri saya sambil membawa tagihan. Saat ia memberikan kembalian, saya mengucapkan terimakasih, namun saya lupa menggunakan bahasa isyarat seperti di kertas. Tapi dia mengerti dan mengucapkan 'sama-sama' dengan caranya.

Saya tidak iba pada mereka, saya salut.


You may also like

2 komentar:

  1. Hi Mbak Rizky, saya Dissa, owner cafe Fingertalk. Terima kasih sudah datang ke cafe kami.. Tulisan mbak ini menjadi penyemangat kami semua di cafe. Mohon maaf saya tidak bisa bertemu langsung ketika mbak dan suami datang.. Tapi insya allah kita bisa bertemu di lain kesempatan ya mbak. Mohon doanya terus untuk kami di Fingertalk :) Terima kasih banyak, wassalamualaikum wr wb.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah di komen ownernya langsung :)
      Sukses terus ya buat cafe dan workshop nya.

      Hapus

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.