Kabur Sejenak dari Kepenatan Kota : Leuwi Hejo - Curug Barong

/
0 Comments
Di hari pendidikan ini, saya dan abang sepakat untuk berpetualang lagi. Kali ini ke Curug Barong. Pertama kali tahu tentang tempat ini adalah dari teman saya, yang main ke sana hampir bersamaan dengan saya ke cilember. Berbekal nekat, tak tahu jalan, hanya bermodalkan sedikit informasi dari blog orang dan teman kami, kami jalan dengan menggunakan motor. Kenapa motor? Karena teman saya bilang jalanannya tidak memungkinkan untuk sedan (kebetula mobil saya sedan, mobil abang city car).

Jam 8 kami start dari Sawangan. Pilihan jalurnya berdasarkan Google Map adalah lewat Jl. Alternatif Sentul, atau lewat Warung Jambu. Tapi karena jalur alternatif sentul lebih familiar bagi kami, kami pilih yang itu.
Dari Sawangan depok kami ambil jalan pintas ke Bojong Gede agar bisa lewat jalan Pemda, lalu ke Cibinong. Begitu sampai di pertigaan Cibinong City Mall, belok kanan. Lalu masuk Jl. Alternatif Sentul (belok kiri pas di dealer Mitsubishi). Di ujung jalan itu, kita akan melewati kolong tol, setelah kolong tol, belok kiri, sampailah kita di Sirkuit sentul. Dari gerbang sirkuit itu, ambil kanan. Lalu belok kiri di pertigaan Harris hotel. Dari sana tinggal lurus saja, atau kita bisa menjadikan penunjuk jalan ke Jungle Land sebagai penunjuk arah.
Jalan itu akan berujung di sebelah kiri gerbang masuk Jungle Land. Nah, lurus aja, ada jalan kecil di sebelah kanan pintu gerbang Jungle Land. Jalan itu akan mengarah ke 2 tempat, bisa pilih ke Wana Wisata Gunung Pancar, atau ke Leuwi Hejo.

Jika ingin menikmati suasana pinus dan air panas serta kegiatan alam lain, anda tinggal menyusuri jalan tadi dan berakhir di gerbang masuk wana wisata gunung pancar.
Jika tujuan anda adalah curug yang indah, maka anda harus belok kiri saat jalan itu bercabang seperti huruf Y. Ciri lainnya, ada rumah makan sate tepat di depan persimpangan itu, rumah makan sate H.Abdullah atau apa gitu ya.

Nah, masalahnya, karena awalnya tidak tahu jalan, akhirnya kami ambil jalan yang ke Wana Wisata. Kena lah 10.000 per orang, berdua jadi 20.000. Padahal kami bertanya dulu ke penjaga wana wisata, di iya-kan oleh mereka, padahal seharusnya kami tak perlu lewat sana. Oke, buang-buang uang. Memang bisa lewat sana, tapi jalurnya............rusak parah, tanjakan-turunan tajam luar biasa, mengerikan.
Akhirnya setelah bertanya beberapa kali pada warga, kami menemukan jalur yang benar. Tapi di perjalanan kami menemukan jalur itu, saya menemukan spot yang menyejukkan mata.
Sengaja turun dari motor untuk mengabadikan hal yang nyaris tak terlihat di kota

Nah setelah di jalan yang benar pun, ternyata jalurnya memang rusak, tanjakan turunan tajam serta panjang. Bahaya.
Ada jembatan dari kayu juga yang harus dilewati. Ya, dari kayu. rangkanya memang dari baja, tapi pijakannya dari kayu. muat sih untuk mobil, dan aman.

Spot selfie paling menarik di sini adalah yang satu ini.




Sebenarnya ini saya ambil di perjalanan pulang. Jadi mataharinya mulai bergesar dan agak mendung. Satu hal yang menarik bagi saya di spot ini adalah orang-orangan sawahnya. Padinya mulai menguning. Jadi di sawah-sawah itu dipasangi orang-orangan sawah. Dulu waktu jaman SD, saya baca di buku bahasa sunda bahwa orang-orangan sawah itu ada untuk menakut-nakuti burung. Baru kali ini saya sempat mengamatinya. Saat saya berfoto, pak tani menggoyangkan orang-orangan sawah itu. Ya, orang-orangan sawah itu terhubung satu dengan yang lain dengan tali, di beberapa tempat juga ada kaleng, agar ketika digoyangkan, semua baju yang diikat itu bergerak, berikut kalengnya agar burung kaget dan menjauh. Cara tradisional yang aman dan masih efektif. Dan.....baju yang digantung itu kebanyakan masih bagus loh. hahaha
Hal yang saya hanya bisa baca di buku, akhirnya bisa saya amati. Kasihan sekali ya anak kota.

Kawasan curug yg pertama adalah curug Kencana. Seperti kawasan curug lain di bogor, curug kencana juga terdiri dari beberapa curug dan kolam-kolam air yang indah. Tapi karena tujuan utama saya hari ini adalah curug barong, jadi saya tak mengunjungi yang satu ini.

Menemukan kawasan wana wisatanya tak sulit koq. Ada spanduk besar, beserta pos nya.
Bagi yang membawa mobil, parkir di pinggir jalan. Kalau motor, ada parkiran di dalam , atau bahkan bisa membawanya ke dalam jika berani. Yang aneh adalah, ketika saya parkir dan berjalan ke jalur setapak, ada papan terpampang yang tulisannya kira-kira "kawasan ini adalh milik Sentul City, dilarang mengambil apapun dari kawasan ini".
Lalu, jadi wana wisata alam ini juga ada di kawasan milik Sentul city?
Kenapa bisa dibangun tempat seperti ini?
Sayang sekali kalau sampai curugnya juga diakuisisi oleh sentul city. Sangat disayangkan.

Kami parkir motor di parkiran depan, lalu berjalan kaki ke kawasan curug. Di sini lah saya bertemu anak-anak kecil yang memegang baskom atau kaleng bekas cat, meminta-minta.
"Kak, minta sumbangannya kak, untuk beli pulpen kak, untuk sakola"
"Kak, boga pulpen kak? boleh buat saya kak, buat sakola"
Miris, tepat di samping kawasan yang katanya milik Sentul City.

Di jalan setapak itu juga kita bisa melihat pemandangan. Namun sayang, sudah banyak yang botak.



Foto itu diambil di awal jalur, karena berikutnya jalurnya lebih banyak tanahnya.
Perjalanan dari parkiran ke starting point curugnya kira-kira 15-20 menit jalan santai, menurun. Jadi nanti pulangnya...menanjak.
Banyak juga yang membawa motor ke kawasan curug, karena memang tersedia parkir motor. Tapi, kalau motor anda tidak sehat, lebih baik jangan.

Oke, mungkin ini akan sedikit tidak mengenakkan bagi pengunjung.
Biaya masuk di bagian paling depan : 3.000 per orang.
Sesampainya di starting point perjalanan ke curug (percabangan jalur ke curug barong atau ke Leuwi Hejo, banyak warung dan toilet serta parkiran) kita dimintai lagi 10.000 per orang. Itu untuk ke curug barong dan Leuwi Hejo. Kalau mau ke Leuwi Lieuk dan satu leuwi lagi saya lupa namanya, itu dimintai lagi 5.000 di atas sana (di lokasi).
Oke lah bayar saja.

Di sana ada percabangan, ke kiri (bawah) Curug Bengkok Leuwi Hejo, ke atas curug barong. Tertulis di papan itu jarak ke Leuwi hejo cuma 200 meter. Ah dekat! Karena itu saya ambil jalur leuwi hejo duluan. Jalur awalnya menurun, yang artinya pulangnya akan....menanjak.
Tiba di bibir sungai, kami melewati jembatan bambu menuju ke sumber gemuruh air itu.
Persimpangan, ke bawah itu ke Curug Bengkok Leuwi Hejo, ke atas (kanan) ke curug barong





Ya, mulai terlihat jeram-jeram besar disana, ramai orang.
Ternyata perjalanan selanjutnya tak semudah yang saya bayangkan. Saya mah lebih baik diberi jalur menanjak daripada di suruh melompati bebatuan besar. Ya, untuk menuju curug utamanya sendiri, harus melewati batu-batu besar, memijakkan kaki dengan sangat hati-hati agar tak terjatuh. Bagi orang lain mungkin ini hanya seperti kripik kentang, gampang. Tapi bagi saya, cukup sudah. Ayo ke barong saja. Padahal saya sudah dapat melihat bagian atas curugnya. Pendek memang, tapi yang membuatnya menarik adalah jeramnya yang besar dan berundak sehingga pengunjung bisa menyebar untuk sekedar main air.

Ah tapi satu pemandangan menarik bagi saya :

Ada ayam!! Di batu besar! di tengah jeram!

Karena ingin menghemat energi, saya hanya bisa mengambil gambar ini saja :


Ujung curugnya saja bahkan tak terlihat kan dari ujung jeram ini. Masih jauh ke sana, melewati pinggir batu besar itu.

salah satu jeramnya, terlihat mengasyikkan ya.

Oke, setelah menarik napas sejenak, kami melanjutkan perjalanan ke curug barong.
Kalau tadi ke curug bengkok leuwi hejo itu diawali dengan menurun, sekarang menanjak, diawali dengan tangga curam.

Ini baru awalnya, sekitar 100 meter menaiki tangga curam yang terbuat dari tanah. Pasti licin kalau terkena hujan.
Setelah itu jalanan lebih bervariasi, tapi kebanyakan berlantaikan tanah, bukan seperti curug seribu atau cilember yang dari batu.
Di pinggir jalan sempit ini, jurangnya cukup dalam.

Pemandangan selama perjalanan ke curug barong lebih banyak dihiasi dengan pepohonan khas hutan. Di beberapa spot memang sudah botak tanahnya, tapi masih dapat terlihat suasana hutannya, apalagi dengan suara tonggeret sesekali. Ada pohon pandan di sepanjang jalan, juga kunyit di pinggir jurang.


Setelah tangga tadi memang jalurnya berupa jalan biasa, bukan tangga seperti di sebagian besar jalur curug seribu dan cilember.

Kita bisa melihat aliran sungai kecil dengan jeramnya yang berisi batu besar dari kejauhan.

Nah, setelah berjalan setengah jam (jalan santai), kita akan menemukan persimpangan jalan, ke curug barong, atau leuwi lieuk. Saya memilih ke curug barong (100 meter lagi, katanya).
Tapi ternyata perkiraan saya salah, ternyata yang pernah saya lihat di foto teman saya bukan curug barong. Ya, jika tujuan anda adalah main air, lebih baik anda meneruskan ke atas (leuwi lieuk), tapi bayar lagi nanti. Di leuwi lieuk sana, ada 'kolam' untuk berenang, warnanya hijau tosca, cantik sekali, itu yang pernah saya lihat di foto teman saya. Di leuwi yang satu lagi, yang saya lupa namanya, katanya seperti green canyon, sekelilingnya batu besar, warna airnya pun tosca kebiruan.
Tapi saya tak begitu menyesal, karena saya memang suka curug. Bunyi air bergemuruh di air terjun adalah bunyi yang menentramkan bagi saya.

Yah...banyak orang.
Hanya itu yang saya sesalkan. Saya jadi tak dapat mengambil banyak gambar tanpa ada orang terfoto didalamnya.



rameeee 

Curug Barong bentuknya meliuk, mengalir ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke kanan lagi, mengikuti bentuk celah batu besar yang membentuk alirannya.
Batunya besar sekali, saya memotret di bawah batu itu karena tak ingin basah kuyup seluruh badan saya, karena di bagian yang dekat dengan aliran itu cukup dalam. Alirannya pun deras.

Saya menyempatkan diri untuk duduk di atas batu besar sambil menikmati gemuruh air yang menenangkan. Sembari memakan bekal yang kami bawa.

Sayang sekali, banyak orang yang tak tahu aturan. Makan minum di kawasan curug, lalu sampahnya ditinggalkan. Apalah susahnya membawa pulang sampah? Setidaknya hingga parkiran. Saya geregetan, jujur saja. Saya dan abang lalu memunguti sampah dan memasukkannya ke plastik di kantong saya. Andai saya bawa plastik lebih besar, lebih banyak lagi yang bisa saya bawa turun ke parkiran.
Itulah yang saya sayangkan.
Banyak anak muda yang sok 'pencinta alam', jalan-jalan ke tempat wisata alam, tapi tak tau cara menjaganya. Yang begitu harusnya jalan ke mall saja!
Saya bukan pendaki gunung, saya tau fisik saya tak akan kuat mendaki gunung, tak sekuat anak muda yang ikut trend naik gunung itu. Tapi setidaknya saya tau sedikit bagaimana caranya menjaga agar alam tak mudah rusak. Semoga kawan-kawan yang lain juga.


Kami lalu turun ke parkiran, bersih-bersih badan di tempat yang tersedia, lalu solat. Setelah itu kami pulang.

Nah, di perjalanan pulang, kami sedikit terhambat. Ya sebenarnya bukan sedikit sih, cukup terhambat. Kami jatuh dari motor. Di tanjakan rusak ini.


Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, jalurnya memang rusak. Sangat rusak. Jadi waktu pulang, kami berada di belakang rombongan motor matic, saat menaiki tanjakan rusak ini, motor di depan kami berhenti sedikit dan berbelok ke kiri, abang kaget dan mengerem, dari atas ada motor juga. Eh si CB ga kuat naik. Jadilah kami meluncur turun. Untung abang masih cukup kuat menahan motor agar tidak terlempar ke belakang, dan saya pun refleks membanting badan ke arah kiri. Motor berhenti meluncur. Saya dibantu warga untuk turun dari motor, begitu juga abang. Abang terus bertanya, saya luka atau tidak, padahal saya tau dia kesakitan sekali. Dia tertawa, menertawakan kegagalannya menghandle kejadian tadi, tapi saya sangat khawatir. Warga di situ berkerumun, membantu abang. Seorang bapak langsung mengurut kaki abang. Ya, tadi kan abang menahan motor dengan kaki, ototnya kram. Padahal kalau dipikir-pikir, tanjakan ini kan seberapa curam, namun memang rusak. Jadi harus punya skill dan yang punya skill pun harus tetap waspada.

"Jalanannya rusak ya pak ya." kata saya ke bapak yang mengurut abang.
"Di sini mah teh, jalannya rusak semua, ga ada yang ga rusak" kata si bapak.
"Di sini mah ga ada lurahnya teh, jalanan jadi ga ada yang benerin" kata seorang pemuda. Well, sepertinya itu berbau sarkas.
"Jokowi mah adanya di jakarta teh, di sini mah ga diliat" kata pemuda lain.
"Ya udah ntar saya suruh pak jokowi dateng ke Leuwi Hejo biar diliat ama dia ya" kata saya sambil tertawa.

Sayang sekali memang, tempat yang potensial seperti ini seakan terbengkalai. Spot rawan longsor pun hanya dipasangi papan "Hati-hati rawan longsor" oleh pemerintah setempat, tanpa ada tindak lanjut.

Setelah merasa lebih baik, kami melanjutkan perjalanan.

Ternyata memang benar, jalur yang 'benar' memang lebih baik, tidak terlalu ekstrim dibandingkan dengan jalur nyasar kami tadi.
Sebagai penutup, saya mendapatkan gambar ini sambil jalan tadi.


Padi menguning dan setelah panen. Pemandangan yang tak akan terlihat di kota.

tambahan : ini kamera pocket bagus juga ya, Canon Powershot A810. Padahal murah, di bawah 1 juta, udah 2 tahun, tapi warna dan fokusnya ttp bagus. Ngambil sambil jalan di motor dgn laju lumayan cepet juga stabil aja. Foto di sini ada yg diambil dari kamera ini, ada yg dari front camera Lenovo, jadi kalo kualitasnya ada yang beda ya maklumi. oh iya, Maap bukan bermaksud promosi. Haha


You may also like

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.