Mengenang Masa Lalu : Krisis Moneter Mengubah Duniaku

/
0 Comments
Lama tidak aktif tulis menulis di blog. Baru kali ini sempat lagi.
Maklum saja ya, anak kuliahan yang nyambi jadi ibu rumah tangga, tugas kuliah bejibun, piring dan baju kotor menggunung, menangis pun tiada guna.

Kali ini saya ingin membagikan kisah masa lalu saya. Masa lalu saya itu penuh lika-liku. "Hidup itu bagaikan sebuah roda pedati" benar-benar terjadi dalam dunia saya. Masa kecil saya mungkin boleh dibilang anti-mainstream. Penuh kejutan dan punya banyak cerita dibandingkan sebagian besar anak seusia saya.

Tulisan mengenai masa lalu ini akan saya bagi menjadi beberapa bagian, semoga menjadi inspirasi bagi kalian yang sedang membangun rumah tangga dari nol (seperti saya sekarang). Karena kehidupan tidak semulus perjalanan cinta remaja kasmaran. Bagian pertama ini akan banyak berisi tentang keluarga saya.

Saya terlahir dari keluarga yang biasa saja. Ayah saya seorang PNS di kantor pengadilan agama di jakarta, yang saat saya kecil masih berada di bawah departemen agama, gajinya kecil. Ayah saya berangkat kerja menggunakan angkutan umum. Dia naik turun kopaja dan angkot, malamnya berkutat dengan mesin tik, menuliskan apa yang tertulis acak-acakan khas tulisan orang tua di map yang dibawanya pulang. Ayah terlahir dari keluarga yang awalnya berada, namun karena entah kenapa kakak laki-lakinya selalu sial, akhirnya satu persatu aset dijual hingga tidak terasa kehidupannya menjadi melarat.
Ayah yatim. Kakek meninggal saat ia masih duduk di bangku kuliah, padahal saat itu dia kuliah di Trisakti yang terkenal bergengsi dan mahal. Tapi dengan bantuan saudara-saudaranya ia berhasil jadi sarjana.

Nenek dari ayah, yang pernah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, dulu keluarganya cukup terpandang. Kakeknya ayah dari garis nenek dulu adalah seorang mandor perkebunan karet milik perusahaan dari Belgia yang berlokasi di Sawangan, Depok, sejak akhir masa penjajahan. Nenek saya selalu cerita, bapaknya dulu, tinggiiii sekali untuk ukuran orang kampung. Kalau pergi kerja itu berangkatnya naik kuda putih, katanya. Namun saya tidak pernah melihat fotonya, beliau meninggal sejak lama, dan hanya buyut perempuan saya yang sempat saya kenal, beliau meninggal tepat di usia ke 99, sama seperti namanya.

Ibu saya berasal dari keluarga yang cukup terpandang di sawangan. Kakeknya dulu adalah pedagang paling kaya, yag juga adalah anak dari saudagar paling kaya (dan istrinya banyak) di sawangan. Orang-orang dari Meruyung, Parung, Mampang, belanja keperluan warungnya itu di tokonya! kata ibu saya. Anak dari buyut saya yang tidak bersekolah di pesantren itu hanya 2, salah satunya adalah kakek saya. Oleh karena itu anak-anaknya pun tidak menganut sistem pesantren.

Dari sekian banyak anak buyut saya itu, hanya kakek saya yang tidak nyaman jadi guru. Ia lebih suka membuka usaha. Usahanya tidak langsung berhasil. Dengan kisah cinta si kaya dan si miskin yang klasik, kakek dan nenek saya memulai kehidupan berumah tangga dengan mengontrak kontrakan kecil di pinggir pasar, jauh dari gelimangan harta dan bimbingan uang dari orangtuanya yang kaya. Nenek saya berasal dari keluarga miskin, bapaknya hanya pedagang buah, jauh kekayaannya dari kakek saya, jadi ibunya kakek tidak merestui pernikahan itu. Klasik kan?

Awalnya, kakek saya jadi kuli panggul di pasar itu. Pekerjaannya ya memanggul beras dan semacamnya. Tidak lama, sekitar 1 tahun, ia beralih profesi menjadi petani. Dulu daerah Sawangan Depok masih full sawah dan kebun karet. Profesi itu bertahan tidak begitu lama, karena ada sebuah kejadian, yang katanya ada unsur mistisnya. Rekan kerjanya sebagai petani penggarap tewas di ladang karena meminum pestisida, katanya sih salah ambil botol minum. Yang membuat orang berpikir itu ada unsur mistisnya adalah karena bau pestisida itu yang menyengat, seharusnya tidak mungkin si bapak itu salah menenggak botol minum!

Sisa hasil tani itu dia gunakan untuk membeli lahan di dekat pintu masuk kebun karet, yang sekarang adalah tugu sawangan baru, depok. Di sana, ia membuka toko kelontong. Barangnya diambil dari toko bapaknya, dengan cara hutang. Itu terjadi saat ibu saya masih kecil. Mereka sekeluarga tidur di loteng, sementara di bawahnya adalah toko kelontong. Bukan 2 lantai, namun loteng sederhana. Untung lumayan besar diperoleh saat ada program beras sosial dari pemerintah, saya lupa apa istilahnya, namun ibu saya cerita bahwa dari program itu toko-toko yang diberi jatah beras program akan memperoleh keuntungan. Dari keuntungan itu kakek membeli ayam petelur. Awalnya ayam kampung biasa. Ayam itu kemudian diternakkan, awalnya hanya sebagai hobi. Lumayan telurnya bisa diambil untuk makan. Lama kelamaan ayamnya berkembang biak. Di satu ketika, kakek ke jakarta dan membeli ayam petelur. Nah, ayam itu pun diternakkan dan jadilah berkembang biak cukup banyak. Telur-telur yang dihasilkan diambil dari kandang ayam setiap pagi. Mengambil telur itu adalah tugas ibu dan om saya, yang saat itu masih duduk di sekolah dasar.

Berawal dari kandang sederhana, akhirnya usaha telurnya menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dari toko kelontong hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menutup toko dan fokus ke usaha telur.

Usaha telur itu berkembang pesat dan masih bertahan hingga ibu saya lulus SMA. Kakek memasok telur ke berbagai pasar di jakarta, dan sepulangnya mengantar telur, sesekali beliau mampir menjemput ibu saya pulang sekolah. Ibu saya dan 2 adiknya bersekolah di SMA Al Azhar pusat di Kebayoran Baru. Kurang bergengsi apa sekolah itu jaman dulu? Tapi ibu saya masih mau dijemput dengan mobil bak terbuka berisi peti telur kosong, sementara teman-temannya sudah ada yang bawa BMW sendiri. BMW, Mercedes, jaman dulu.

Entah bagaimana mulanya, kakek saya membawa pulang ayam broiler dan mulai menternakkannya di rumah. Itu adalah ayam broiler pertama yang menjejakkan cekernya di Sawangan. Ayam apa tuh, koq bulunya putih semua?

Akhirnya di masa kuliahnya ibu saya, kakek berubah haluan menjadi beternak ayam broiler alias ayam pedaging. Peternakannya maju pesat hingga akhirnya kakek punya usaha peternakan ayam di beberapa lokasi, yang saya ingat ada di Sawangan, yang sekarang di tikungan di pintu masuk perumahan Sawangan Permai, ada dua lokasi di sana, lalu ada di Susukan, dan Citayam. Tanahnya luas-luas. Satu lokasi mempunyai 4-5 kandang, yang per kandangnya dapat menampung ribuan lebih ekor ayam. Di salah satu lokasi, dibuat kolam ikan besar di bawah kandang ayamnya, yang diisi ikan gurame beberapa ribu ekor. Di bidang peternakan, kakek saya adalah peternak terbesar kedua se Jawa Barat saat itu. Saya ingat karena kakek saya pernah diajak pergi ke Thailand oleh dinas peternakan dan perusahaan pakan ternak, entah itu Charoen Phokphand atau Goldcoin saya tidak tahu.

Untuk memotong rantai penjualan, ayam dari kandang dipotong di pemotongan ayam milik sendiri. Ya, kakek saya membuat pemotongan ayam modern, dengan mesin potong yang mampu menghasilkan ayam potong dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Pekerjanya kebanyakan orang jawa. Lokasi pemotongannya ada di Sawangan juga, yang sekarang jadi pemotongan bebek.

Untuk lebih mempersingkat dan mengamankan pasar, di lokasi pemotongan itu dibuatkan beberapa puluh kontrakan kecil untuk para pedagang ayam di pasar. Ya, mereka tinggal di sana, hidup di sana, menjualkan ayam yang dipotong disana. Dini hari mereka ke pasar berjualan ayam, siang hari mereka setor ke kantor. Ibu saya memimpin kantor pemotongan itu, kakek saya mengepalai kantor urusan peternakan, om saya mandor di peternakannya, mengurusi keluar masuk pakan dan obat ayam. Saat itu saya sudah lahir, sudah besar, dan sudah cukup mengerti.
Saya tahu mana truk engkel untuk angkut ayam dari peternakan, saya tahu bagaimana model truk yang digunakan untuk membawa DOC (ayam pitik berumur beberapa hari) ke kandang, saya tau bagaimana kerja mesin dan alur pemotongan ayam modern, saya tau dinginnya cool storage untuk menyimpan beku ayam-ayam yang belum terjual, saya tau betul bau amis pemotongan ayam dan menjijikkannya saluran air di sekitar mesin potong, yang penuh darah dan bulu putih.

Arus keuangan perusahaan saat itu sangat tinggi. Saat harga beras masih 500 perak, kakek saya setoran 2 hari sekali ke bank BNI cabang Mayestik sebesar 18 sampai 30 juta rupiah. Saya ingat betul saya selalu ikut kakek kalau mau ke mayestik, naik sedan Civic build up jepang atau naik Rocky yang gahar. Saya naik ke lantai 2 bank itu yang mana hanya nasabah prioritas yang ada di sana, saya duduk ke meja teller, setelah itu saya diajak nenek belanja sayur dan bahan makanan di pasar mayestik. Terkadang saya dibawa ke bagian daging yang amis, tapi saya tidak merengek minta keluar dari sana. Saya hanya minta dibelikan somay super enak di lantai dasar, atau sate padang, dan minumnya jus alpukat. Lalu solat zuhur di musholla di lantai teratas, yang dulu banyak sekali perempuan tertidur di siang hari di sana. Saking seringnya saya ikut ke pasar mayestik, saya sampai sedih waktu beberapa tahun belakangan ini mampir ke Pasar Mayestik lagi. Ya ampun sudah banyak sekali perubahannya, Esa Mokan dan Esa Genangku jadi mati segan hidup tak mau, area parkir sekarang jadi banyak, Bombay tetap berjaya (ganti nama), pedagang perahu kletek-kletek itu menghilang, pedagang celana dalam di tangga itu ga ada lagi, mushollanya jadi bagus, tapi....kemana tukang somay dan sate padang kesukaan saya?

Masa-masa jaya usaha ini adalah hingga tahun 1998. Oleh karena itu saya beri judul tulisan ini terkait dengan krisis moneter.

Ayam adalah komoditas yang retan. Harganya amat fluktuatif, sampai sekarang. Ibu saya pernah bilang, kalau jantungan, jangan jualan ayam!

Tahun 1997-1998, ketika krisis moneter menerpa indonesia, nilai rupiah terhadap dollar anjlok parah. Hal ini berakibat pada harga pakan ayam yang kian tinggi. Pakan ternak saat itu masih impor, kebanyakan dari Thailand. Oleh karena itu efek imbas kenaikan dollar sangat teramat besar. Harga pakan yang tinggi otomatis harus diimbangi dengan harga jual ayam yang tinggi. Namun harga yang tinggi tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat yang juga sedang tercekik inflasi dari komoditas lain. Akhirnya banyak ayam yang tidak terjual. Selain memiliki peternakan sendiri, kakek juga menjadi pembina dan pemasok untuk peternak skala kecil. Mereka yang modalnya kecil sangat kewalahan menanggapi keadaan krisis itu, akhirnya, daripada ayamnya mati karena tidak diberi makan, lebih baik potong saja walaupun ukuran dan usianya belum cukup, lalu jual dengan harga murah asalkan jadi uang. Efeknya.....peternak di bawah tidak mampu bertahan, ayam di kandang banyak yang mati, dijual pun tidak habis terjual karena harga begitu tinggi. Bisa dibayangkan bagaimana efeknya pada perusahaan.

Ada sebuah kejadian yang sangat saya ingat tentang turunnya Soeharto.
Mungkin kalian anak 92 tidak tahu tentang itu selain dari sejarah, tapi saya ingat betul. Saat itu perusahaan seharusnya mengirim ayam ke jakarta, namun urung dilakukan karena kerusuhan. Toko di depan rumah nenek semua tutup dan dicoret dengan tulisan "MILIK PRIBUMI". Saya saat itu seperti biasa, dititipkan di rumah nenek, sementara ibu saya di kantor pemotongan ayam. Tiba-tiba om saya berlari dari kantor peternakan yang letaknya di sebelah rumah nenek. Saya sedang bermain sendiri saat itu dengan boneka kucing saya. Om saya berlari sambil berteriak "SOEHARTO TURUUUN!! SOEHARTO TURUUUUUN!!!". Om saya masuk ke rumah lalu memasang TV keras-keras. Sangat keras karena tv itu terhubung ke speaker macam home teather jadul. Saya masuk ke rumah, berjalan ke kamar mandi yang ada di sebelah ruang TV, dan saya lihat seseorang berpidato di TV. Saya tidak tahu apa maknanya yang jelas om saya entah kenapa sangat senang.

Perubahan besar terjadi setelahnya.
Satu persatu truk engkel dijual. Satu persatu mobil pribadi, termasuk Civic cantik itu juga dijual. Tersisa satu, Taft Rocky, yang pada akhirnya pun harus dijual beberapa tahun setelahnya. Ternyata krisis moneter menyisakan hutang sangat besar kepada berbagai perusahaan pakan ternak, salah satu yang tersisa cukup lama adalah kepada GoldCoin.

Setelah krismon itu peternakan masih mencoba untuk bertahan, meskipun tidak seperkasa awalnya. Hanya sekedar agar tertutupi saja perputaran uang disana. Karena jika tutup, maka perputaran uang akan jadi berhenti dan bagaimana cara membayar hutang?
Karena hutang yang sangat besar, satu persatu lokasi kandang harus direlakan. Sampai saya SMP, dari lebih dari 4 lokasi, yang tersisa tinggal 1 lokasi. Tanah puluhan hektar juga harus direlakan. Hingga akhirnya tidak lama kemudian usaha peternakan resmi ditutup.

Perputaran uang untuk menutup sisa hutang kini bertumpu pada pemotongan.
Awalnya pemotongan dipasok dari peternakan sendiri, kini harus mengandalkan pasokan dari kota lain seperti Sukabumi. Pemotongan itu masih sempat berjaya karena sempat memasok pasokan ayam untuk KFC selama beberapa bulan. Jadi kalau ada yang bilang KFC ayamnya dari Amerika, mereka bohong. KFC itu pakai ayam dari lokal. Untuk wilayah jakarta, pasokan ayam ditampung di KFC-Gelael Tebet. Standar kebersihannya pun sangat tinggi. Selain KFC, pemotongan itu juga sempat memasok boneless sayap untuk Hoka-Hoka Bento. Ada yang tahu, ada menu HokBen ala carte yang bentuknya sayap tanpa tulang, yang diisi dengan daging ayam lagi lalu digoreng? Nah, dulu pemotongan kami memasok sayap itu. Namun hanya beberapa bulan saja.

Di tahun 2002 kalau tidak salah, kami pun harus melepaskan pemotongan itu dijual ke perusahaan dari Singapura, untuk apalagi kalau bukan bayar hutang. Pedagang ayam pasar yang awalnya tinggal disana harus keluar semua dari wilayah itu, digusur. Mereka beberapa ada yang membuat pemotongan sendiri, ada yang sampai saat ini masih berjualan di pasar, dan sempat bertemu ibu saya waktu ibu saya belanja ke pasar.

Sampai tahun itu, tersisa 3 lokasi aset yang masih bertahan. Beberapa tahun kemudian.......
1 lokasi aset kemudian diserahkan ke GoldCoin untuk melunasi hutang, 1 lokasi aset diberikan ke om untuk dibuat usaha lain, 1 lokasi aset dipertahankan karena disanalah kakek saya tinggal. Dengan demikian habislah semua aset yang dimiliki kakek saya selain yang ditinggali sekarang dan satu aset lagi hasil lelang harta keluarga yang disita bank. Puluhan hektar tanah di berbagai tempat lenyap untuk membayar hutang. Usaha puluhan tahun habis dalam waktu kurang dari 10 tahun. Tapi saya bersyukur, hutang kakek saya lunas.

Saya?
Saya adalah cucu pertama, semua yang saya minta pasti diberikan. Dulu saat kakek saya masih jaya, setiap nenek ke pasar Mayestik, satu dua lembar baju pasti ada yang dibelikan untuk saya. Namun setelah itu? Tidak ada. Yang paling menyedihkan adalah dulu saat semua mobil cantik itu masih ada di garasi, saya selalu ikut kemana kakek nenek saya pergi, dan saya tidur di jok belakang. Namun setelah itu, kakek nenek saya pergi kemana-mana menggunakan angkot. Sesekali saya pun ikut dengan mereka meskipun naik angkot. Meskipun mereka tidak mengatakannya, namun saya merasakan pedihnya jatuh dalam usaha.

Tapi apakah kakek saya kapok menjalankan usaha?
Tidak. beliau masih aktif usaha sampai hari ini. Beberapa tahun lalu masih sempat membuka mini market sendiri. Otaknya masih lebih encer dalam berhitung daripada saya. Intuisinya masih sangat cermat dalam melihat peluang usaha. Ia mengubah halaman depan rumahnya yang luas menjadi lapak-lapak usaha yang disewakan. Rumahnya yang berada di segitiga emas Sawangan membuat lapak itu selalu ramai. hasilnya sangat lumayan. Belasan juta perbulan, hanya dengan duduk manis menagih uang sewa. Bahkan lebih besar pendapatannya dibandingkan pendapatan ayah saya. Meskipun demikian terkadang terasa sedih juga melihat perubahan drastis roda kehidupan yang dialami kakek nenek saya di usia senja.

Kakek saya adalah contoh panutan dalam berusaha. Beliau tidak pernah putus asa, meskipun sempat jatuh. Beliau tidak pernah dendam, meskipun pernah diguna-guna oleh orang yang pernah ditolongnya. Beliau visioner, berani bermimpi dan menetapkan visi misi bertahun-tahun ke depan, tidak hanya saat ini.

Saya masih terus berusaha darinya. Saya hanya berharap kakek nenek saya panjang umur, hingga bisa melihat saya sukses dan memberikan sesuatu pada mereka. Namun saat ini yang bisa saya berikan kepada mereka hanya kelulusan saya dari UI tepat waktu. Ya Allah, semoga mereka masih bisa melihat saya lulus dari S2 UI tepat waktu juga. Aamiin.


You may also like

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.