Menyoroti Transportasi Ibukota, Commuter Line dan Transjakarta.

/
0 Comments
Jika kita bicara transportasi di ibukota, pasti langsung terbayang kemacetan yang merajalela dan semakin menggila, dengan jumlah motor yang membludak, angkutan umum yang ugal-ugalan, lengkap dengan pengamen, preman, copet, rampok, dan orang berperilaku seksual menyimpang di dalamnya, transjakarta yang sering mogok dan selalu terlambat, serta kereta yang luar biasa pada di rush hour. Bagi pegawai yang kerja di Jakarta namun memilih tempat tinggal di bogor, depok, tangerang dan bekasi, sepertinya naik angkutan umum terasa lebih baik ketimbang harus merasakan macet di segala tempat dari tempat kerja ke rumah atau sebaliknya. Kereta dan transjakarta, dua moda transportasi umum milik pemerintah yang terus berbenah, diharapkan memberi pelayanan terbaik pada calon penumpang.

Koran Republika pagi ini (Kamis 4 Desember 2014), memberi 1 halaman khusus membahas tentang kereta api di Indonesia, terutama Jabodetabek. Dimulai dengan halaman depan, membahas tentang kereta bekas jepang yang dibeli PT. KCJ (commuter jabodetabek), hanya kita yang beli kereta bekas jepang.

Tentunya hal ini menarik bagi saya. Untuk teman-teman yang juga menggunakan jasa kereta commuter line, pasti masih bisa melihat 'sisa-sisa jepang' yang ada di interior kereta. Ya, tulisan kanjinya masih ada. Bahkan ada gerbong masinis yang tulisan depannya 'Tokyo'. Kereta yang kita nilai bagus (lebih bagus daripada kereta listrik jabodetabek jaman dulu) itu memang impor dari Jepang. Tapi bukan impor baru, melainkan impor bekas.

Kereta jepang didesain untuk tahan pakai selama 50 tahun. Namun setelah 30 tahun pakai, penggunaan kereta itu akan dihentikan. Kalau tidak dijual, maka gerbong itu akan dihancurkan. Lalu mengapa 30 tahun pakai sudah dihentikan pemakaiannya? Ini berkitan dengan efisiensi. Setelah 30 tahun, biaya perawatannya akan menjadi lebih mahal. Bagi mereka, lebih baik membeli kereta baru daripada merawat yang tua.

Lalu mengapa harus bekas? Mengapa bukan menggunakan kereta buatan INKA?
Ini lah yang menjadi fokus di Republika hari ini. Masa guna yang masih 20 tahun lagi itu dimanfaatkan oleh PT. KCJ, dengan harga yang murah, masih bisa dipakai, bagus pula, buatan jepang pula. Baja Jepang memiliki kualitas terbaik, katanya. Semurah apakah kereta bekas jepang dibandingkan kereta baru buatan INKA? Ternyata memang jauh bedanya. Harga satu gerbong kereta bekas Jepang sekitar 800 juta rupiah hingga satu milyar rupiah. Sementara harga gerbong baru berkisar 10 milyar hingga 12 milyar rupiah. Untuk 1 gerbong loh. Kalikan saja 10, itulah harga kereta yang kita tumpangi setiap hari. Perbedaan harganya, hampir 10 kali lipat. Pantas saja KCJ lebih suka mengimpor bekas daripada beli baru.

Menurut mereka, ini demi penumpang juga. Jika dengan kereta bekas, maka harga tiket penumpang berlaku seperti sekarang, 2500 rupiah untuk 5 stasiun pertama, tambahan 500 rupiah untuk setiap 3 stasiun berkutnya, itu pun setelah disubsidi pemerintah. Bagaimana jika menggunakan kereta baru? Ternyata harga tiketnya bisa sekitar 50.000 rupiah. Sebagai contoh, di artikel itu dijelaskan kereta Bandara Kualanamu harganya 80.000 rupiah, karena keretanya adalah kereta baru. Wah bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau harga commuter line jabodetabek jadi semahal itu.

Namun timbul pertanyaan, Jepang saja yang orangnya teliti dan teratur enggan merawat yang tua itu, lalu bagaimana jika si tua itu dirawat oleh orang Indonesia yang (maaf) sembrono, seringkali menggampangankan masalah dan terkenal bisa bikin ga bisa rawat? Inilah yang harus menjadi konsentrasi PT. KCJ sekarang, sebagai konsekuensi membeli barang bekas. Barang tua yang seharusnya bisa dipakai 20 tahun lagi, bisa rusak sebelum 10 tahun jika tidak dirawat dengan benar. Oleh karena itu perawatan kereta harus benar-benar diperhatikan dan dilakukan oleh anak bangsa terbaik di bidangnya. Jangan sampai kereta tua tak terawat memberi petaka bagi penumpangnya.

Pertanyaan lainnya, mengapa Jepang? Mengapa bukan beli kereta jerman atau negara lain?
Rel kereta di jabodetabek ternyata masih menggunakan standar rel jaman belanda, yang ukurannya 1,067 meter. Saat ini, standar rel dunia sudah beralih menjadi 1,4 meter. Sementara yang masih menggunakan kereta dengan spesifikasi ukuran rel itu tinggal jepang saja. Otomatis Jepang yang jadi kiblat kita dalam membeli kereta bekas, selain karena bajanya yang bagus.

Antara nasionalisme dan keekonomian. Antara membeli produk lokal atau memberi harga murah pada rakyat. Kalau dilihat dari dua hal itu, memang ini menjadi pilihan yang sulit. Bagi rakyat, tentunya saya ingin transportasi umum yang cepat dan murah. Untuk mengajak orang merumahkan mobil dan motornya dan beralih ke transportasi umum, ongkos transport dengan transportasi umum itu harus dijaga semurah mungkin agar hitung-hitungan keekonomiannya jauh lebih murah dibandingkan bensin. Kereta adalah salah satu pilihan terbaik. Hanya perlu mengeluarkan 3500 rupiah dari stasiun depok baru ke Sudirman, dengan waktu tempuh sekitar 50 menit. Sangat terjangkau bukan? Uniknya, harga ini setengahnya ongkos dari rumah saya di Sawangan Depok ke stasiun depok baru atau terminal depok yang dipatok sopir angkot 6500 rupiah setelah kenaikan BBM Padahal rumah saya masih di depok juga, jaraknya tak sampai 10 km dari stasiu, dengan waktu tempuh angkot 1-1,5 jam di jam sibuk.

Tak hanya kereta, Transjakarta atau  yang lebih dikenal dengan busway, armadanya juga menjadi sorotan. Masih ingat bus transjakarta terbakar? Bukan hanya satu, tapi beberapa. Bus bekas!, kata ahok menuduh kepala dinas saat itu.  Seringkali armada yang tua juga mogok, terutama saat akan naik fly over. Bahkan beberapa koridor armadanya sudah bobrok, bau oli dan kopling di kabin, pintu tak bisa terbuka atau tertutup dengan langsung, AC bocor, dan lain-lain. Armada yang baru dibeli, bus gandeng, yang bagus ada di koridor-koridor yang melayani rute di jantung ibu kota seperti koridor Blok M-Kota, saya akui memang bagus, tapi sayang justru yang baru itu yang terbakar. Semoga saja ke depannya pak Ahok, gubernur resmi DKI Jakarta tetap memasang mata pada pejabat-pejabatnya agar tak lagi berani korupsi alat transprotasi umum.

Tak hanya masalah baru atau bekas, keterlambatan jadwal pemberangkatan adalah hal yang bahkan lebih penting untuk diperhatikan, baik di commuter line maupun transjakarta. Kereta mogok, keretanya didahului kereta jawa, antrian masuk manggarai, dan banyak permasalahan lainnya di perkereta apian. Tidak tanggung-tanggung, keterlambatan bisa sampai berjam-jam. Di halte transjakarta yang lalu lintas penumpangnya padat seperti harmoni, Dukuh atas 2, dan lain-lain, di jam padat bisa terjadi antrian sangat panjang, lebih dari 15 menit busnya baru datang. Walhasil ketika bus sampai langsung diserbu calon penumpang yang sudah terlambat kerja, jadilah desak-desakan dalam bus.

Lagi-lagi ini masalah armada. Armada tidak mencukupi untuk mengangkut penumpang di jam padat. PT. KCJ menargetkan penumpang yang diangkut tahun depan 1,2 juta orang per hari, sementara sekarang baru 600 ribu. Tidak mungkin ini dapat terlaksana jika armada keretanya kurang. Maka lagi-lagi harus impor bekas jepang. Transjakarta juga harus berbenah menambah armada jika ingin mendukung program pemerintah menggalakkan transportasi umum, asal jangan beli barang bekas cina lagi.

Selain jumlah armada, sistem juga harus diperbaiki. Saat ini Commuter line jabodetabek sudah menerapkan e-ticketing. Sejauh ini yang saya lihat penerapannya cukup teratur dan baik. Nopember hingga Desember ini Transjakarta juga mulai menerapkan full e-ticketing untuk sebagian besar koridor. Namun ini tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat untuk menggunakan uang elektronik sehingga banyak warga yang malah mundur, tidak jadi menggunakan transjakarta karena tidak punya uang elektronik.

E-ticketing dan uang elektronik memang cara yang baik untuk mempermudah dan mempercepat calon penumpang. Namun saya rasa penggunaannya masih terkotak-kotakkan. Untuk naik kereta commuter kita bisa menggunakan kartu THB untuk sekali jalan, atau Kartu Multi Trip, atau dengan uang elektronik dari berbagai bank seperti bank BCA, BNI, BRI dan e-money Mandiri. Namun kartu Multi Trip tidak bisa digunakan untuk naik bus transjakarta. Naik bus transjakarta harus menggunakan uang elektronik dari Mandiri, BNI, BRI, BCA. Nah ini lah yang saya maksud terkotak-kotakkan. Jadi kalau saya punya KMT yang saya beli dengan harga 30.000, saya tetap harus beli kartu e-money transjakarta dengan harga 40.000. Memang, pengelolanya berbeda, dan masing-masing pasti ingin keuntungannya sendiri-sendiri. Namun karena uang elektronik yang digunakan tidak seragam, ada bermacam-macam, sarana untuk top up uang elektronik itu tidak bisa sembarangan, bergantung pada jenis bank. Tidak semua jenis uang elektronik bisa di top up di halte busway. Sebagiannya harus di top up di atm masing-masing bank. Jadi saat saldo di KMT ada tapi di uang elektronik saldonya habis dan uang elektronik yang kita gunakan bukan yang bisa di top up di halte, kita harus bagaimana?

Berguru pada negeri tetangga, Singapura, mereka mengeluarkan satu jenis kartu untuk semua moda transportasinya, ezlink. Baik MRT, maupun bus. Jadi bisa di top up di berbagai tempat. Memang, menerapkan sistem itu untuk pengelola yang berbeda seperti antara Transjakarta dan KCJ akan sulit. perlu negosiasi antar pengelola dan bank. Pilihan yang mungkin adalah menerapkan sistem yang sama sehingga KMT bisa dipakai di transjakarta, atau menghapuskan KMT dan menggalakkan uang elektronik, atau, tidak ada perubahan apapun.

Selain masalah ticketing, satu hal yang menjadi pemikiran saya sejak lama adalah masalah lokasi halte dan stasiun. Menurut saya, seharusnya halte transjakarta dan stasiun terintegrasi dengan baik, agar calon penumpang dapat dengan mudah berpindah moda transportasi. Sebagai contoh, stasiun Depok baru letaknya bersebelahan langsung dengan terminal depok. Maka penumpang yang rumahnya harus naik angkot lagi, dapat dengan mudah menemukan angkotnya. Meskipun saat ini terminal dan stasiun belum ada jalan penghubung yang baik menunggu perombakan terminal. Sebagai perbandingan, stasiun Manggarai dan terminal Manggarai sama-sama merupakan tempat transit penumpang. Stasiun dan terminal itu cukup sibuk. Di terminal ada halte transjakarta yang cukup besar. Meskipun letaknya berdekatan, namun untuk mencapai terminal atau halte transjakarta dari stasiun cukup sulit. Harus melewati tempat sampah besar yang bau, melewati warung-warung yang mengisi trotoar, bahkan harus melewati underpass yang gelap baru bisa sampai di halte. Bagi perempuan, ini cukup berbahaya. Mengapa tidak dibuatkan sebuah jembatan penyeberangan atau apapun untuk mempermudah akses penghubung kedua tempat itu? Banyak stasiun yang tidak terintegrasi dengan halte bus transjakarta atau halte bus lain sehingga menyulitkan penumpang beralih angkutan. Ini yang menjadi PR lanjutan bagi pemerintah. Bagaimana caranya membuat para penumpang yang rela capek berdesak-desakan, ketimbang menghabiskan kuota BBM dan bikin macet jakarta, merasa nyaman dan tetap menggunakan transportasi umum.

Transportasi umum harus menjadi pilihan utama, jika ingin Jakarta minim polusi dan bebas macet.


You may also like

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.